ilumnifhunpar.com – Pengurus Pusat Ilumni FH UNPAR (PP Ilumni FH UNPAR) mengamati dinamika politik tanah air, terkait penambahan masa jabatan Presiden Republik Indonesia menjadi 3 periode melalui mekanisme Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ketua Umum Ilumni FH UNPAR, Samuel M P Hutabarat mengatakan, isu konstitusional tersebut semakin menjadi keprihatinan publik ketika diperkuat kembali melalui tiga pernyataan pimpinan partai politik, yakni; Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar, dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan.
“Dari pernyataan-pernyataan yang muncul pada dasarnya berintikan adanya harapan masa jabatan Presiden saat ini diperpanjang hingga lebih dari lima tahun, yang terkait dengan penundaan Pemilu 2024. Secara singkat, hal ini menunjukkan adanya benang merah terhadap isu konstitusional yang sama yakni; penambahan masa jabatan Presiden,” kata Samuel
Bertolak dari pengamatan terhadap kedua isu tersebut, PP Ilumni FH UNPAR menyampaikan pernyataan sikap untuk menanggapi dinamika politik tersebut dengan berpegang pada komitmen terhadap negara demokrasi konstitusional.
“Pertama, reformasi politik dan ekonomi pada tahun 1998 yang ditandai dengan Amandemen terhadap UUD Negara RI Tahun 1945, merupakan peneguhan kembali komitmen kita terhadap demokrasi dan negara hukum. Hal ini ditandai dengan meletakan prinsip kardinal demokrasi konstitusional, yakni; pembatasan masa jabatan Presiden. Di mana pembatasan masa jabatan Presiden menjadi upaya kita untuk mencegah munculnya kembali kekuasaan yang tidak terbatas,” kata Samuel.
Masa jabatan presiden diatur dalam UUD Negara RI Tahun 1945 Pasal 7. Dalam aturan tersebut, disebutkan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Artinya, masa jabatan presiden ditetapkan maksimal dua periode. Untuk itu jika kita mendorong untuk menambah periode jabatan Presiden menjadi 3 Periode, maka itu berarti kita sudah melanggar nilai-nilai demokrasi dan konstitusi negara kita.
Kedua, penyelenggaraan pemilu secara demokratis dan berkala merupakan implementasi prinsip kedaulatan rakyat, dimana menjadi pilar fundamental negara hukum demokratis.
Oleh karena itu, wacana penundaan pemilu merupakan wacana yang mengenyampingkan prinsip kedaulatan rakyat dan tentunya wacana yang tidak demokratis.
Di samping itu juga, pemilu merupakan sarana penting dalam menjaga keseimbangan sirkulasi kepemimpinan nasional, serta sarana dalam menguji visi dan program calon Presiden dan Wakil Presiden, maupun calon legislator, agar selaras dengan tujuan berdirinya Republik Indonesia, dan aspirasi warga negara.
Pasal 22 E UUD Negara RI Tahun 1945 secara tegas menyatakan bahwa Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD dilaksanakan setiap 5 tahun sekali.
Dengan demikian jika terjadi penundaan pemilu, menambah masa jabatan presiden serta memperpanjang masa jabatan parlemen merupakan bentuk pelanggaran konstitusi dan merampas hak rakyat untuk mengunakan hak pilihnya setiap lima tahun.
Ketiga, berdasarkan data the Economist Intelligence Unit mengenai Democracy Index 2021, posisi Indonesia belum beranjak dari posisi sebelumnya yakni; tetap diklasifikasi sebagai negara flawed democracy.
Di mana dalam kategori budaya politik (political culture) kita memperoleh skor yang rendah. Hendaknya kondisi tersebut menjadi bahan refleksi kita bersama, terlebih terhadap wacana perpanjangan masa jabatan Presiden dan penundaan pemilu.
Menurut Samuel, refleksi ini menjadi krusial ketika komitmen kita terhadap demokrasi, bukan semata terhadap institusi demokrasi, namun juga cara pandang, perilaku, serta keberlanjutan demokrasi.
Maka, semakin teguh komitmen kita terhadap demokrasi, maka kita turut serta dalam memperbaiki budaya politik dan juga ekosistem demokrasi kita.
Terakhir, PP Ilumni FH UNPAR, mengajak seluruh elemen bangsa dan setiap warga negara untuk tetap berpegang teguh pada komitmen terhadap demokrasi konstitusional, dimana berintikan adanya pembatasan masa jabatan Presiden, dan terselenggaranya Pemilu secara demokratis, terbuka, akuntabel, dan berkala. Bukankah Jokowi dalam berbagai kesempatan telah menyatakan menolak adanya wacana penambahan masa jabatannya menjadi 3 periode.
“Penghargaan kami terhadap Jokowi atas segala kinerja yang luar biasa selama Jokowi menjadi Presiden, tidak dengan memberikan Jokowi tambahan masa jabatan yang merupakan pelanggaran terhadap konstitusi, namun kami dapat menempatkan Jokowi sebagai seorang negarawan yang masih dapat memberikan kontribusi terhadap bangsa dan negara dalam bentuk saran atau masukan demi kemajuan Negara Republik Indonesia. Untuk itu kita juga berharap Jokowi tetap konsisten dalam sikapnya untuk menolak wacana penambahan masa jabatannya sebagai Presiden RI,” tutup Samuel.