Anak Memprovokasi Tindak Pidana, Bisakah Dihukum?

Ulasan hukum dari Durapati Sinulingga, S.H.

Pertanyaan

Belum lama ini viral penganiayaan salah satu anak pejabat hingga mengakibatkan korban koma. Berdasarkan kronologi yang diliput oleh banyak media, penganiayaan tersebut dilakukan berdasarkan aduan/provokasi dari pacar pelaku yang masih di bawah umur. Selain menghasut, pacar pelaku juga merekam aksi penganiayaan tersebut. Bisakah pacar pelaku yang notabene seorang anak atau di bawah umur dilaporkan karena menghasut tindak pidana? Bagaimana hukumnya?

Ulasan Lengkap

Jerat Pidana ‘Memprovokasi’ Tindak Pidana

Sebelumnya, kami turut prihatin atas kejadian yang menimpa korban. Semoga korban segera pulih dan sehat seperti sediakala dan nantinya mendapatkan keadilan atas kejadian tersebut.

Berbicara tentang tindak pidana anak, terdapat kasus 3 dasawarsa lalu yang menghebohkan Merseyside, Inggris. Seorang anak yang berumur 2 tahun dibunuh oleh 2 orang anak berusia 10 tahun dengan cara yang kejam dan tidak berprikemanusiaan, melewati batas-batas kenormalan. Akan tetapi, karena dilakukan oleh pelaku berumur 10 tahun, maka tetap menggunakan persidangan anak dan diperlakukan layaknya seorang anak begitu juga vonis yang diterima. Kasus tersebut menimbulkan tekanan masyarakat terhadap lembaga peradilan bahkan hingga saat ini masih berlanjut dengan petisi-petisi.

Di Indonesia, anak yang menjadi pelaku tindak pidana atau anak yang berkonflik dengan hukum adalah berusia 12 tahun dan belum berumur 18 tahun. Hal ini ditegaskan di dalam Pasal 1 angka 3 UU SPPA yang berbunyi sebagai berikut.

Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas tahun), tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana

Selanjutnya, anak yang melakukan aduan atau provokasi kepada orang lain untuk melakukan penganiayaan berat hingga menyebabkan korban koma sekaligus merekam aksi penganiayaan tersebut, berdasarkan KUHP yang pada saat artikel ini diterbitkan masih berlaku, maka anak tersebut dapat dilaporkan kepada Kepolisian atas dasar Pasal 353 ayat (1) dan (2) KUHP jika direncanakan atau Pasal 354 ayat (1) KUHP jika tidak direncanakan, jo. turut serta melakukan tindak pidana Pasal 55 KUHP.

Adapun, dalam UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak diundangkan,[1] yaitu 2026 diatur di Pasal 467 ayat (1) dan (2) UU 1/2023 jika direncanakan atau Pasal 468 ayat (1) UU 1/2023 jika tidak direncanakan, jo. turut serta melakukan tindak pidana Pasal 20 UU 1/2023.

 UU 1/2023
Pasal 353 ayat (1) dan (2) KUHP

  1. Penganiayaan yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.
  2. Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, sitersalah dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.

 

Pasal 467 ayat (1) dan (2) UU 1/2023

  1. Setiap orang yang melakukan penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.
  2. Jika perbuatan sebagaimana dimaksud ayat (1) mengakibatkan luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
Pasal 354 ayat (1) KUHP

Barang siapa dengan sengaja melukai berat orang lain dihukum karena menganiaya berat dengan hukuman selama-lamanya delapan tahun.

 

Pasal 468 ayat (1) UU 1/2023

Setiap orang yang melukai berat orang lain, dipidana karena penganiayaan berat, dengan pidana penjara paling lama 8 tahun

Pasal 55 KUHP

  1. Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
    1. Mereka yang melakukan, yang menyuruhlakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan;
    2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman ataupun penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana dan keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan;
  2. Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang disengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan beserta akibat-akibatnya.

 

Pasal 20 UU 1/2023

Setiap orang dipidana dengan pelaku tindak pidana jika:

  1. melakukan sendiri tindak pidana;
  2. melakukan tindak pidana dengan perantaraan alat atau menyuruh orang lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan;
  3. turut serta melakukan tindak pidana; atau
  4. menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana dengan cara memberi atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, melakukan kekerasan, menggunakan ancaman kekerasan, melakukan penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan.

‘Provokasi’ yang dilakukan oleh pelaku anak dapat diartikan sebagai menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana, termasuk membujuk, menganjurkan, memancing, atau memikat orang lain dengan cara tertentu.[2]

Hal tersebut tergolong sebagai penyertaan atau turut serta melakukan tindak pidana. Adapun perbedaan antara penyertaan dan pembantuan tindak pidana adalah dalam penyertaan terdapat kerja sama yang erat antarmereka yang turut serta melakukan tindak pidana. Sedangkan dalam pembantuan tindak pidana, kerja sama antar pelaku dan orang yang membantu tidak seerat kerja sama dalam penyertaan.[3]

Bisakah Anak yang ‘Memprovokasi’ Tindak Pidana Dihukum?
Dalam sistem hukum di Indonesia, tidak ada pembeda penerapan pasal-pasal pidana bagi anak yang melakukan tindak pidana atau pelaku anak atau anak yang berkonflik dengan hukum dengan pidana terhadap orang dewasa.

Lantas, bisakah anak dihukum atas provokasi tindak pidana? Jawabannya bisa. Akan tetapi, berdasarkan UU SPPA pelaku anak tidak boleh dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup.[4] Selain itu, terdapat perbedaan pidana pokok dan pidana tambahan bagi anak. Pidana pokok bagi anak terdiri atas pidana peringatan, pidana dengan syarat, pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga, dan penjara.[5] Sebagai catatan, anak yang belum berusia 14 tahun, hanya dapat dikenai tindakan.[6]

Jika anak yang melakukan tindak pidana belum berumur 12 tahun maka akan diserahkan kembali ke orang tua/wali, mengikutsertakan dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan maksimal 6 bulan.[7]

Sementara itu, anak dijatuhi pidana penjara di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (“LPKA”) jika keadaan dan perbuatan anak akan membahayakan masyarakat. Sementara, pidana penjara yang dijatuhkan kepada anak maksimal ½ dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Adapun, pidana penjara bagi anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir.[8]

Dalam sistem peradilan pidana anak wajib mengedepankan keadilan restoratif dan diversi. Selengkapnya tentang diversi dapat Anda baca dalam artikel Upayakan Diversi, Begini Prosedur Peradilan Pidana Anak.

Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
[1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)

[2] Penjelasan Pasal 20 huruf d UU 1/2023

[3] Penjelasan Pasal 21 huruf b UU 1/2023

[4] Pasal 3 huruf f Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (“UU SPPA”)

[5] Pasal 71 ayat (1) UU SPPA

[6] Pasal 69 ayat (2) UU SPPA

[7] Pasal 21 ayat (1) UU SPPA

[8] Pasal 81 ayat (1), (2), dan (5) UU SPPA

Sumber artikel : hukumonline.com

Total
0
Shares
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts