Suami Berutang Tanpa Persetujuan Istri, Bisakah Kreditur Ambil Barang Istri?

oleh : Sugiharta Gunawan, S.H., M.H.

ilumnifhunpar.com – Pertama-tama, Anda selaku pembuat utang atau debitur dengan iktikad baik harus bertanggung jawab untuk melunasi utang Anda kepada teman Anda tersebut dengan segala cara untuk menghindari adanya perbuatan melawan hukum secara sepihak yang dilakukan oleh teman Anda selaku kreditur.

Konsep Harta Bersama dalam Perkawinan
Kemudian, perlu kami jelaskan bahwa pada dasarnya harta yang diperoleh selama perkawinan dianggap sebagai milik bersama suami dan istri. Sehingga apabila motor milik istri Anda diperoleh selama perkawinan berlangsung maka dapat dikategorikan sebagai harta bersama. Hal ini ditegaskan di dalam Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

Selain itu, di dalam Pasal 119 KUH Perdata diatur pula ketentuan mengenai harta bersama yang berbunyi:

Sejak dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami isteri, sejauh tentang hal itu tidak ditiadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami isteri.

Dalam kasus Anda, karena suami berutang tanpa sepengetahuan istri, maka perlu diperhatikan ketentuan dalam Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan bahwa mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Sehingga, dapat diambil kesimpulan bahwa penggunaan harta bersama harus dilakukan atas persetujuan pasangan, kecuali bila diperjanjikan lain dalam perjanjian kawin[1] sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UU Perkawinan jo. Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015.

Lain halnya jika motor tersebut adalah harta bawaan. Dalam hal harta bawaan masing-masing, suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya,[2] misalnya menggunakan harta bawaannya masing-masing tanpa perlu persetujuan dari pihak lain.

Artinya, setiap perbuatan hukum seperti jual-beli, pemberian jaminan, sewa-menyewa, dan sebagainya yang dilakukan terhadap harta bersama, mengharuskan persetujuan dari kedua belah pihak yaitu suami dan istri.

Utang dalam Perkawinan
Selanjutnya, mengenai utang dalam perkawinan, Subekti dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata (hal. 34), dibedakan menjadi dua yaitu utang pribadi (utang prive) dan utang persatuan (utang gemeenschap) yaitu suatu utang untuk keperluan bersama.

Lebih lanjut, diterangkan oleh Subekti, bahwa untuk suatu utang pribadi harus dituntut suami atau istri yang membuat utang tersebut, sedangkan yang harus disita pertama-tama adalah benda prive (benda pribadi si pembuat utang). Apabila tidak terdapat benda pribadi atau ada tetapi tidak mencukupi, maka dapatlah benda bersama disita juga.

Sehingga jika suami yang membuat utang, maka harta benda pribadi istri tidak dapat disita, begitu pula sebaliknya. Kecuali jika benda pribadi tidak dapat mencukupi serta atas perjanjian utang piutang yang ada dibuat dengan persetujuan pasangan masing-masing. Sedangkan untuk utang persatuan, yang pertama-tama harus disita adalah benda gemeenschap (benda bersama) dan apabila tidak mencukupi, maka benda pribadi suami atau istri yang membuat utang itu disita juga.

Dalam hal ini, utang pribadi yang bisa dimintai pelunasannya dari harta bersama adalah utang pribadi yang berasal dari perjanjian utang piutang dengan persetujuan pasangan. Hal tersebut disebabkan karena utang yang dibuat oleh suami/istri dapat berdampak pada harta bersama apabila suami atau istri tidak dapat melunasinya, dan untuk bertindak atas harta bersama diperlukan persetujuan pasangan.

Oleh karena itu, utang yang dibuat oleh suami tanpa persetujuan istri, tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada harta istri, sebab utang pribadi tidak dapat diambil pelunasannya dari harta pribadi pasangan. Selain itu, utang pribadi juga tidak dapat diambil pelunasannya dari harta bersama sebagai akibat tidak adanya persetujuan dari pasangan.

Hukumnya Kreditur Mengambil Barang Debitur Secara Paksa
Adapun, perbuatan kreditur yang menyita atau mengambil secara paksa motor istri Anda secara melawan hukum dapat dijerat dengan Pasal 362 KUHP yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan atau Pasal 476 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[3] yaitu tahun 2026 sebagai berikut:

Oleh karena itu, dalam kasus Anda, tindakan pengambilan secara paksa barang milik istri Anda secara sepihak oleh kreditur tanpa adanya perjanjian utang piutang yang disetujui oleh istri tidak diperbolehkan secara hukum.

Baca juga: Panduan Hukum Menghadapi Debt Collector

Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.
Putusan:

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.

Referensi:

Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 2005.

Tulisan ini diterbitkan pertama kali di laman : hukumonline.com

Total
0
Shares
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts