oleh : Vincensius Binsar Ronny, S.H., M.H.
ilumnifhunpar.com – Menurut Pasal 1 angka 1 UU Advokat memberikan pengertian advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan UU Advokat.
Berdasarkan ketentuan ini, dapat diketahui bahwa advokat adalah pihak yang dapat memberikan jasa hukum, yaitu berupa konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien, baik di dalam maupun di luar pengadilan.[1]
Namun, dalam praktiknya, selain advokat juga bisa mewakili kepentingan hukum orang lain untuk beracara di pengadilan. Adapun, pihak-pihak non advokat yang dapat mewakili kepentingan hukum orang lain untuk beracara di pengadilan adalah sebagai berikut:
Jaksa sebagai Pengacara Negara
Selain advokat, jaksa sebagai pengacara negara dapat beracara di bidang perdata dan tata usaha negara. Hal ini diatur di dalam Pasal 30 ayat (2) UU Kejaksaan yang menyatakan bahwa di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
Wewenang kejaksaan di bidang perdata dan tata usaha negara adalah untuk dan atas nama negara/pemerintah sebagai penggugat atau tergugat yang dalam pelaksanaannya tidak hanya memberikan pertimbangan atau membela kepentingan negara/pemerintah, tetapi juga membela dan melindungi kepentingan rakyat.[2]
Biro Hukum Instansi Pemerintah
Pegawai negeri sipil di lingkungan biro hukum instansi pemerintah juga dapat menangani perkara hukum secara litigasi. Salah satu ketentuan yang mengatur hal tersebut adalah Pasal 2 dan Pasal 3 Permendagri 12/2014 yang menyatakan bahwa penanganan perkara hukum di lingkungan kementerian dalam negeri adalah biro hukum. Adapun perkara hukum di lingkungan provinsi ditangani oleh biro hukum provinsi, dan perkara hukum di lingkungan kabupaten/kota ditangani bagian hukum kabupaten/kota.
Lebih lanjut, diterangkan bahwa perkara hukum tersebut meliputi litigasi dan non litigasi. Yang dimaksud perkara hukum litigasi terdiri atas uji materiil undang-undang, peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, perkara perdata, perkara pidana, perkara tata usaha negara, sengketa kewenangan lembaga negara, dan perkara di badan peradilan lainnya.[3]
Pengurus Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Dalam ketentuan Pasal 87 UU PPHI dan Pasal 25 UU 21/2000 pengurus serikat pekerja/serikat buruh dapat menjadi kuasa hukum untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
Pasal 87 PPHI dijelaskan bahwa serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya.
Adapun, yang dimaksud dengan serikat pekerja/serikat buruh meliputi pengurus pada tingkat perusahaan, tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi dan pusat, baik serikat pekerja/serikat buruh, anggota federasi, maupun konfederasi.[4]
Pasal 25 ayat (1) huruf c dan dUU 21/2000 menerangkan bahwa serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berhak mewakili pekerja/buruh dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dan dalam lembaga ketenagakerjaan.
Keluarga Dekat
Pihak yang dapat bertindak sebagai kuasa/wakil dari penggugat/tergugat atau pemohon di pengadilan salah satunya adalah mereka yang mendapat kuasa insidentil yang ditetapkan oleh ketua pengadilan. Misalnya lembaga bantuan hukum (LBH), hubungan keluarga, biro hukum TNI/Polri untuk perkara-perkara yang menyangkut anggota keluarga TNI/Polri.[5]
Kuasa insidentil dengan alasan hubungan keluarga sedarah atau semenda dapat diterima sampai dengan derajat ketiga, yang dibuktikan dengan surat keterangan kepala desa/lurah.[6]
Lebih lanjut, dalam LampiranSEMA 7/2012 sub kamar perdata umum (hal. 2) diterangkan bahwa surat kuasa insidentil dapat diterima dalam beracara di semua tingkat peradilan.
Dengan demikian, keluarga dekat dapat mewakili pihak lain untuk beracara di sidang pengadilan melalui surat kuasa insidentil dengan syarat penerima kuasa adalah orang yang mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda dengan pemberi kuasa sampai derajat ketiga yang dibuktikan dengan surat keterangan hubungan keluarga yang dikeluarkan oleh lurah/kepala desa. Surat kuasa insidentil tersebut dibuat langsung di hadapan ketua pengadilan.
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh;
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;
- Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat;
- Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia;
- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah;
- Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan.
Referensi:
Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, Buku II Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Tahun 2008.
[1] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat [2] Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia [3] Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah [4] Penjelasan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial [5]Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, Buku II Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Tahun 2008, hal. 53 [6]Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, Buku II Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Tahun 2008, hal. 53 – 54Artikel ini sudah tayang terlebih dahulu di Hukumonline.com