Syarat Mengubah HGB Rumah Tinggal Menjadi Hak Milik

oleh : Dr (c). Wawan Irawan, S.H., M.Kn., M.M., M.H.

Rumah tinggal yang Anda beli dari developer, sering kali tanahnya berstatus selain hak milik dan tidak memiliki sertifikat hak milik (“SHM”). Mengenai jenis status hak atas tanah perumahan yang dikembangkan oleh developer dapat Anda simak dalam artikel Jenis Status Hak Atas Tanah untuk Perumahan.

Adapun, alasan mengapa developer memberikan sertifikat hak guna bangunan (“SHGB”) dan bukan SHM, menurut hemat kami disebabkan oleh developer atau perusahaan pengembang perumahan hanya dapat memperoleh hak atas tanah tersebut dengan status SHGB. Hal ini karena menurut Pasal 21 UU PA hanya warga negara Indonesia (“WNI”) yang dapat mempunyai hak milik. Jadi, tanah yang dimiliki oleh developer sebagai perusahaan berbadan hukum tidak dapat berstatus hak milik.

Perlu diketahui bahwa menurut UU PA, hak milik adalah hak turun temurun, terkuat, dan terpenuh, yang dapat dipunyai orang atas tanah.[1] Adapun hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Kemudian atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.[2]

Namun, jika sampai dengan waktu berakhirnya hak guna bangunan tidak dilakukan perpanjangan atau peningkatan hak menjadi SHM, maka hak atas tanah tersebut hapus karena hukum dan tanahnya akan dikuasai oleh negara.[3]

Berkaitan dengan pertanyaan Anda, apakah SHGB lebih lemah, dari segi hukum, menurut hemat kami tidak tepat jika SHGB dikatakan lemah. Hanya saja, SHGB memiliki jangka waktu berakhirnya hak, sementara SHM berlakunya mutlak dan selama-lamanya tanpa batas waktu. Hal ini karena pada SHM, pemegang haknya mempunyai kepemilikan yang penuh atas tanah dan merupakan hak turun temurun yang terkuat dari hak-hak atas tanah lainnya yang dikenal dalam UU PA.

Syarat Mengubah HGB Menjadi SHM

Menjawab pertanyaan Anda selanjutnya yaitu apakah sertifikat HGB bisa diubah menjadi SHM? Jawabannya bisa. SHGB bisa diubah menjadi SHM berdasarkan Kepmen ATR/Kepala BPN 1339/2022. Adapun untuk mengubah SHGB rumah tinggal menjadi SHM harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:[4]

  1. Rumah tinggal kepunyaan perseorangan warga negara Indonesia;
  2. Luasnya sampai dengan 600 m2;
  3. Mengajukan permohonan SHGB untuk dihapus dan diberikan kembali kepada bekas pemegang haknya dengan hak milik;
  4. HGB masih berlaku atau telah berakhir;
  5. Atas nama pemegang hak yang masih hidup atau meninggal dunia;
  6. Dilepaskan oleh pemegang hak pengelolaan dengan surat persetujuan/rekomendasi pemberian hak milik atas bagian tanah hak pengelolaan untuk rumah tinggal yang berada di atas tanah hak pengelolaan.

Perubahan HGB menjadi hak milik tersebut adalah hak atas tanah pada satu bidang tanah secara utuh dalam satu sertifikat hak atas tanah, bukan sebagian. Jika hak atas tanah yang akan diubah haknya telah berakhir jangka waktunya, maka tidak perlu terlebih dahulu diberikan perpanjangan jangka waktu atau pembaruan haknya.[5]

Sebelum pemberian hak milik atas rumah tinggal dari HGB, akan dilakukan pemeriksaan sebagai berikut:[6]

  1. Dokumen. Misalnya izin mendirikan bangunan, persetujuan bangunan gedung, dan lain-lain. Jika tidak ada, maka dapat diganti dengan surat keterangan dari kepala desa/lurah yang menerangkan bahwa bangunan yang berdiri di atas tanah tersebut digunakan sebagai tempat tinggal.
  2. Data fisik dan yuridis. Dilakukan melalui pemeriksaan sertifikat hak atas tanah yang akan diubah haknya serta memastikan bahwa subjek hak memenuhi syarat untuk diberikan hak milik. Jika disertai dengan peralihan hak seperti pewarisan, maka diperiksa pula kelengkapan dokumen dan penelitian persyaratan yang dilampirkan.

Rincian Biaya untuk Mengubah HGB Menjadi SHM

Terkait dengan pertanyaan Anda selanjutnya mengenai biaya mengubah SHGB menjadi SHM, rinciannya adalah sebagai berikut:[7]

  1. Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (“BPHTB”), khusus jika ada perubahan subjek hak karena pewarisan.
  2. Dikenai biaya penerimaan negara bukan pajak (“PNBP”), yaitu sebesar Rp50.000 per bidang.[8]

Namun, rincian biaya tersebut belum termasuk besaran biaya pengurusan, jika diurus melalui Notaris-PPAT.

Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

  1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 128 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional;
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah;
  4. Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1339/SK-HK.02/X/2022 Tahun 2022 tentang Pemberian Hak atas Tanah Secara Umum;
  5. Surat Direktur Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah Nomor HT.03/1011-400/X/2022 Tahun 2022 tentang Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1339/SK-HK.02/X/2022 Tahun 2022 tentang Pemberian Hak atas Tanah Secara Umum.

[2] Pasal 35 ayat (1) dan (2) UU PA

[6] Angka 3 huruf h Surat Jutlak HT.03/2022

[7] Angka 3 huruf g Surat Jutlak HT.03/2022

Total
0
Shares
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts