oleh Poppy Lestari, S.H., M.H.
Pengertian Santet dan Latar Belakang Diundangkannya “Pasal Santet”
Secara bahasa, santet menurut KBBI diartikan sebagai sihir. Istilah santet ini kadang kala digunakan untuk menyebut praktik memasukkan benda-benda asing ke perut korban, yang merupakan salah satu bentuk sihir yang dilakukan oleh dukun.
Dapat pula berupa kemampuan membuat orang datang ke suatu tempat dengan kemampuannya sendiri yang disebut dengan gendam; serta berbagai jenis magi cinta untuk menarik lawan jenis yang disebut dengan guna-guna. Selain itu ada juga magi pencuri barang-barang berharga yang disebut dengan sirep, atau sihir yang memaksa korban melakukan apa saja yang diperintahkan (nuraga).[1]
Tujuan dari santet adalah mematikan atau melumpuhkan. Santet adalah perbuatan untuk meminta kepada roh sesat untuk membunuh atau mencelakakan orang lain.[2]
Santet merupakan suatu perbuatan magis terlarang secara norma kebiasaan yang menimbulkan kerugian bagi orang lain dalam konsep memiliki layaknya perbuatan pidana. Namun konsep santet sebagai suatu tindak pidana memiliki tantangan tersendiri mengingat konteks tindak pidana di Indonesia sebagai negara hukum harus memiliki kerangka hukum yang normatif pula.[3]
Namun, hingga diundangkannya UU 1/2023 yang baru berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[4] yaitu tahun 2026, terdapat kekosongan hukum tindak pidana yang berkaitan dengan santet. Kekosongan hukum ini memiliki dampak yaitu akan menimbulkan tindakan main hakim sendiri dari korban atau pihak yang mengatasnamakan korban bahkan masyarakat yang menduga bahwa rasa sakit, atau kematian yang dialami korban adalah akibat perbuatan pelaku santet.[5]
Dengan diundangkannya ketentuan tindak pidana yang berkaitan dengan santet dalam KUHP baru, maka kekosongan hukum tersebut telah diakomodir.
Bunyi Pasal 252 KUHP Baru dan Unsur Pasalnya
Adapun, pasal santet tersebut termaktub di dalam Pasal 252 KUHP Baru yaitu UU 1/2023 yang berbunyi:
(1) Setiap Orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
(2) Jika Setiap Orang sebagaimana dimaksud ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah 1/3 (satu per tiga).
Sebagai informasi, ketentuan pidana denda dalam Pasal 252 ayat (1) UU 1/2023 adalah sebesar Rp200 juta.[6]
Memperhatikan rumusan Pasal 252 ayat (1) UU 1/2023 di atas, terdapat beberapa unsur perbuatan pidananya, yaitu:
- setiap orang (yaitu pelaku santet);
- yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain;
- bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang.
Menurut hemat kami, ruang lingkup pengaturan dalam Pasal 252 UU 1/2023 ini adalah tindakan si pelaku santet yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain, bukan pada perbuatan santet itu sendiri.
Selanjutnya dengan memperhatikan kata “dapat” dalam unsur ketiga Pasal 252 UU 1/2023 di atas, menunjukkan bahwa penekanan tindak pidana dalam pasal tersebut bukan pada berhasilnya perbuatan pidana santet yaitu timbulnya penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang, tetapi pada unsur kedua, yaitu bagaimana si pelaku santet mampu membuat orang lain percaya dan/atau menggunakan jasanya.
Dengan demikian, delik yang diatur dalam Pasal 252 UU 1/2023 ini merupakan delik formil, yaitu delik yang perumusannya menitikberatkan pada perbuatan (handeling), tanpa mensyaratkan terjadinya akibat dari perbuatan tersebut. Delik selesai dengan dilakukannya perbuatan dan tidak menunggu timbulnya akibat.[7] Dalam delik formil, akibat (suatu perbuatan) bukan merupakan syarat selesainya delik.[8]
Pembuktian Santet
Dalam hal terjadi tindak pidana yang memenuhi rumusan Pasal 252 UU 1/2023, persoalan selanjutnya adalah bagaimana pembuktian perkara tersebut. Adapun alat bukti yang dapat digunakan mengacu pada ketentuan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Jika diperhatikan rumusan Pasal 252 KUHP Baru, ada 3 pihak yang berkaitan dengan tindak pidana santet, yaitu:
- Pelaku santet yaitu orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain, yang dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang/korban.
- Pengguna jasa santet yaitu orang yang menggunakan jasa dari pelaku santet agar korban mengalami penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik.
- Korban yang menjadi target si pelaku santet dan pengguna jasa santet.
Dalam hal yang mengajukan laporan kepada kepolisian adalah korban, maka setidaknya korban harus mempunyai bukti di antaranya:
- Keterangan saksi. Korban dapat menjadi saksi apabila ia memiliki bukti percakapan atas ungkapan dari si pelaku santet yang ia dengar sendiri atau dari saksi lain yang mendengar perkataan si pelaku santet itu sendiri.
- Keterangan ahli. Dalam konteks ini, akan sangat sulit diperoleh bila ahli yang dimaksud adalah ahli santet karena belum ada kualifikasi atau standar tentang validasi ahli dalam santet. Hal ini mengingat Pasal 252 UU 1/2023 merupakan delik formil sehingga timbulnya akibat bukan syarat pembuktian tindak pidana santet. Adapun, ahli yang dapat diajukan adalah dalam hal penyakit, atau kematian yang dialami korban ditemukan benda di dalam tubuh korban yang tidak lazim misalnya paku, pecahan kaca, atau benda lainnya. Ahli yang dapat diajukan yaitu dokter yang memeriksa hasil rontgen atau dokter forensik.
- Surat, dapat diajukan sesuai dokumen hasil rontgen atau berita acara laboratorium forensik.
- Petunjuk. Adanya persesuaian dari keterangan saksi dengan alat bukti lainnya baik keterangan ahli atau surat.
- Keterangan terdakwa atau dalam hal ini adalah pelaku santet. Namun, perlu dicatat bahwa ia mempunyai hak ingkar di persidangan dan menjadi tugas berat bagi aparat penegak hukum untuk membuatnya berbicara jujur dan mengakui perbuatannya.
Adapun, bila yang mengajukan laporan adalah pengguna jasa santet, maka setidaknya harus mengantongi bukti di antaranya:
- Keterangan saksi. Pengguna jasa santet dapat menjadi saksi apabila ia memiliki bukti percakapan atas ungkapan dari si pelaku santet yang ia dengar sendiri atau dari saksi lain yang mendengar perkataan si pelaku santet itu sendiri bahwa si pelaku santet telah memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepadanya.
- Keterangan ahli. Adapun ahli yang dapat diajukan adalah ahli pidana dalam ranah tindak pidana penipuan. Hal ini karena perbuatan pelaku santet yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib dan selanjutnya memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada si pengguna jasa santet, merupakan upaya untuk menggerakkan si pengguna jasa santet percaya dan mau menyerahkan uang atau barang dengan tujuan semata-mata demi keuntungan pribadi si pelaku santet.
- Surat. Dapat saja diajukan apabila penyerahan uang atau barang dari si pengguna jasa santet kepada si pelaku santet didukung oleh bukti berupa kuitansi, bukti transfer, atau bukti setruk pembelian barang.
- Petunjuk. Adanya persesuaian dari keterangan saksi dengan alat bukti lainnya baik keterangan ahli atau surat.
- Keterangan terdakwa yaitu pelaku santet.
Pemenuhan alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP, akan menjadi tantangan bagi korban/pengguna jasa santet terutama bagi aparat penegak hukum. Salah satunya adalah mengenai keterangan saksi yang akan sangat subjektif. Apabila tidak didukung oleh alat bukti lainnya, maka keterangan saksi ini tidak memiliki nilai sebagaimana ketentuan di dalam Pasal 185 ayat (2) dan (3) KUHAP.
Kendala selanjutnya adalah alat bukti keterangan ahli terutama yang dapat menerangkan unsur Pasal 252 UU 1/2023 terkait dengan frasa “karena perbuatannya”. Akan sulit menemukan ahli yang dapat menerangkan “perbuatan” tersebut apa saja, metode atau cara melakukan perbuatan serta alat yang digunakan untuk melakukan perbuatan, meskipun di pasal ini akibat dari perbuatan itu sendiri tidak perlu dibuktikan karena adanya kata “dapat”.
Menurut hemat kami, Pasal 252 UU 1/2023 menyimpan persoalan pembuktian khususnya pemenuhan alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Referensi:
Abdul Mukti Thabrani. Korban Santet dalam Perspektif Antropologi Kesehatan dan Hukum Islam di Kabupaten Pamekasan. Al Ihkam: Jurnal Hukum & Pranata Sosial, Vol. 9 No. 1 Juni 2014;
Faisal et.al. Pemaknaan Kebijakan Kriminal Perbuatan Santet dalam RUU KUHP. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, Volume 5, Nomor 1, Tahun 2023;
Novritsar Hasintongan Pakpahan. Penggunaan Tes Provokasi dalam Pembuktian Pidana Santet. Jurnal Ilmu Hukum, Volume 3 Nomor 1, Oktober 2022;
Topo Santoso. Asas-Asas Hukum Pidana. Depok: Rajawali Pers Divisi Buku Perguruan Tinggi PT. Raja Grafindo Persada, 2023;
KBBI, santet, yang diakses pada Selasa, 19 Desember 2023 pukul 13.04 WIB.
Tulisan ini pertama kali ditayangkan di hukumonline.com