oleh : Mochamad Yusuf Adidana, S.H., M.H.
ilumnifhunpar.com – Dalam perkara dengan salah satu Bank Perkreditan Rakyat dimana putusannya sudah inkracht di tingkat peninjauan kembali Mahkamah Agung. Dalam putusannya berbunyi bahwa Akta Pemberian Hak Tanggungan cacat hukum dan pihak bank diperintahkan untuk mengembalikan sertifikat. Namun, hingga sekarang belum juga dikembalikan sedangkan sudah terlaksana eksekusi oleh pengadilan. Bagaimana cara saya mendapat hak saya untuk memiliki sertifikat saya?
Sebelum menjawab pokok pertanyaan yang Anda ajukan, kami akan mengulas terlebih dahulu apa itu hak tanggungan dan apa fungsinya. Definisi hak tanggungan dapat Anda temukan di dalam Pasal 1 angka 1 UU Hak Tanggungan yang berbunyi:
Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
Adapun, fungsi dari hak tanggungan menurut Pasal 6 UU Hak Tanggungan adalah sebagai berikut:
Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.
Berdasarkan hal tersebut di atas, terlihat jelas bahwa fungsi dari hak tanggungan adalah untuk menjamin pelunasan utang atas fasilitas kredit yang telah diberikan oleh kreditur kepada debitur dalam hal debitur wanprestasi, dengan cara kreditur dapat melakukan eksekusi atas objek jaminan yang telah diikat dengan hak tanggungan tersebut dengan melakukan penjualan atas objek jaminan melalui pelelangan umum.
Adapun, pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (“APHT”) yaitu akta PPAT yang berisi pemberian hak tanggungan kepada kreditur tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya.[1]
Sifat Putusan Peninjauan Kembali
Selanjutnya, untuk menjawab pertanyaan Anda perlu dipahami juga mengenai kapan suatu putusan dinyatakan inkracht van gewijsde atau berkekuatan hukum tetap. Disarikan dari artikel Kapan Putusan Pengadilan Berkekuatan Hukum Tetap dalam perkara perdata, ketika putusan tidak diajukan banding atau kasasi setelah 14 hari sejak putusan diucapkan atau diberitahukan kepada pemohon, maka putusan dinyatakan berkekuatan hukum tetap.
Selain itu, putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap pada saat telah dibacakannya putusan kasasi atas perkara itu.
Adapun, permohonan peninjauan kembali merupakan suatu upaya hukum luar biasa yang diajukan atas suatu putusan yang telah inkracht.[2] Upaya hukum peninjauan kembali tersebut tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah inkracht.[3]
Jika APHT Diputus Cacat Hukum, Tapi Objek Telah Dieksekusi
Karena dalam pertanyaan Anda tidak diuraikan mengenai amar putusan pengadilan negeri hingga putusan kasasi, kami mengasumsikan bahwa amar putusan di tingkat pengadilan negeri hingga kasasi kurang lebih menyatakan pengikatan hak tanggungan sah dan debitur dinyatakan wanprestasi. Sehingga, eksekusi hak tanggungan atas objek jaminan dilakukan melalui lelang dan pembeliannya dinyatakan sah. Atas hal tersebut, baik bank sebagai pemegang hak tanggungan dan pembeli lelang diasumsikan merupakan pemegang hak tanggungan dan pembeli yang beriktikad baik.
Terhadap putusan inkracht itu, dalam perkembangannya terdapat upaya hukum peninjauan kembali yang dalam amar putusannya menyatakan bahwa APHT cacat hukum dan pihak bank diperintahkan untuk mengembalikan sertifikat.
Karena Anda tidak menjelaskan apa yang menjadi pertimbangan dan dasar hukum dibatalkannya APHT dalam putusan peninjauan kembali, maka atas hal tersebut, kami berasumsi yang menyebabkan APHT dinyatakan batal adalah karena ada bukti baru yang dapat membuktikan bahwa pemberi hak tanggungan merupakan orang yang tidak berhak. Sehingga, kami juga mengasumsikan bahwa pemohon peninjauan kembali bukanlah debitur dalam perkara a quo (perkara dari tingkat pengadilan negeri hingga peninjauan kembali), namun merupakan pihak yang berkepentingan atas objek sengketa yang dijadikan objek jaminan.
Berdasarkan hal tersebut, perlu diingat bahwa bank yang merupakan pemegang hak tanggungan dalam pemberian kredit dan pengikatan hak tanggungan dapat diasumsikan sebagai pemegang hak tanggungan yang beriktikad baik. Atas hal tersebut, merujuk Lampiran SEMA 7/2012 Sub Kamar Perdata Umum butir VIII (hal. 6) dinyatakan bahwa pemegang hak tanggungan yang beritikad baik harus dilindungi sekalipun kemudian diketahui bahwa pemberi hak tanggungan adalah orang yang tidak berhak.
Adapun, terhadap pembeli objek jaminan melalui lelang juga harus dianggap sebagai pembeli yang beriktikad baik, sekalipun kemudian diketahui bahwa penjual adalah orang yang tidak berhak. Sehingga, pembeli itu haruslah dilindungi. Dalam hal ini, pemilik asal hanya dapat mengajukan gugatan ganti rugi kepada penjual yang tidak berhak.[4]
Dengan demikian, kami berkesimpulan bahwa putusan peninjauan kembali tersebut menjadi putusan non-executable karena barang yang akan dieksekusi tidak berada di tangan tergugat[5] (kami mengasumsikan tergugat adalah bank). Sehingga, atas hal tersebut, pemilik asal hanya dapat mengajukan gugatan ganti rugi kepada pihak yang telah menjaminkan objek jaminan tersebut ke bank.
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah;
- Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
- Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan.
Referensi:
Pedoman teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, Buku II, Edisi 2007.
[1] Pasal 10 ayat (2) jo. Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah
[2] Pasal 28 ayat (1) huruf c dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (“UU MA”)
[3] Pasal 66 ayat (2) UU MA
[4] Lampiran Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan, Sub Kamar Perdata Umum butir IX (hal. 6)
[5]Pedoman teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, Buku II, Edisi 2007, hal. 104.
Artikel asli ditayangkan pertama kali di hukumonline.com